Entri Populer

Selasa, 05 November 2013



Berawal dari coffee mocca

Kamera yang cindy bawa, ternyata habis batere. Buku dan pena yang selalu ia bawa, kali ini tertinggal. Sedangkan wawancara akan dilakukan sebentar lagi. Pikirannya buyar kembali ketika pimpinan redaksi memarahinya. Cindy yang larut dalam buyarnya pikiran, bingung dengan harinya kali ini.
Semenjak mengetahui Dafa pindah, Cindy merasa sepi di hari-harinya. Dafa lah yang bisa dan selalu ada menemaninya. Dafa juga yang selalu bisa mendengar celotehnya setiap hari. Dafa pula yang bisa mengantarkan hidupnya lebih indah.
Ya.. Sosok Dafa lah yang membuat harinya berwarnakan pelangi. Berita-berita yang Cindy tulis, Dafa lah sebagai editor pertamanya. Foto-foto yang Cindy cetak, Dafa lah yang pertama kali melihatnya. Ketika air matanya menetes, Dafa lah yang mengusapnya. Dafa... sosok lelaki yang mampu merajut cintanya hingga menjadi kain kasih sayang. Sepulang kuliah, Dafa lah yang menjemput dan mengantar Cindy hingga kantor. Kebaikan dan kenangannya lah yang sulit untuk dihapuskan. Kali ini, Cindy mungkin akan mencabut kembali benang cinta yang ia rajut bersama Dafa.
“dy.. napa lu kali ini murung mulu?” tanya Imam sambil memotret Cindy yang sedang melamun.
“mau tau aja sih lu. Gue lagi bingung aja.” Cetus Cindy sambil menulis pertanyaan untuk wawancara nanti.
“haha.. oke oke. Gue tau. Lu abis putus ama pacar lu yaa?” candanya sambil memandang Cindy yang masih tetap menulis pertanyaan.
“bukan urusan lu! Sotau deh jadi orang!”tegas Cindy sembari pergi meninggalkan Imam sendiri.
Puncak memang membuat Cindy bisa lebih tenang sekaligus mencari inspirasi untuk novel pertamanya. Imam yang sedari tadi memotret pemandangan puncak, asyik dan lihai memainkan kameranya. Sementara Cindy, larut dalam kopi panas mocca yang ia pesan di warung pinggiran sepanjang jalanan puncak.
Hangatnya coffee mocca, membuat Cindy asyik dan tenang kali ini. Pikiran buyarnya, ikut larut dalam kocekan coffee mocca nya. Kali ini, Cindy menemuka dirinya kembali. Menjadi Cindy yang biasanya.
“heh Dy.. lu kemana aja sih? Gue tuh nyariin lu. Eh lu malah asyik minum kopi disini.” Celotehnya membuat Cindy tersentak kaget seketika.
“idiiih.. lu juga yang salah. Lu kan main ama kamera lu. Yaudah, gue tinggalin aja.” Cindy menjawab dengan puas.
“hmmmm.” Dehaman Imam, seakan-akan memang ia yang salah.
“ntar malem, kita siap-siap buat wawancara di puncak sebelah sana!” imam menunjuk ke arah masjid puncak.
“iye.. iyee pak! Bawel ah lu!” jawab Cindy dengan ketus.
Kamera Imam, memang sangat nyaman untuk memotret. Lensanya yang tajam, membuat Cindy larut dalam asyinya memotret.
“tuh kan.. apa kata gue tadi. Lu juga jadi lupa ama gue kan?” imam bertanya dengan menatap Cindy.
“yeehh.. kata siapa gue lupa ama lu? Buktinya gue masih jawab pertanyaan lu. Wlee” Cibiran Cindy membuat Imam manyun sebentar dan tersenyum kembali.
Memang.. masjid puncak, adalah masjid yang sangat indah. Lampunya yang bergantungan di malam hari, membuat masjid ini tampak bersinar bagaikan bulan yang ada di langit. Imam dan Cindy melanjutkan kembali perjalanannya menuju masjid puncak. Mererka berdua ditugaskan untuk meliput suasana masjid puncak di malam hari.
Imam segera memasuki tempat wudhu. Begitu pun dengan Cindy. Sedikit-sedikit, Cindy melihat Imam dengan seksama. Terlihat, Imam membasuhi wajahnya penuh dengan rasa khidmat. Urutan wudhu yang begitu sempurna. Tak ada satu anggota wudhu pun terlewatkan dengan tidak sempurna. Dia adalah pemilik wudhu yang sempurna.
Imam dan Cindy melakukan shalat berjamaah. Suara ayat yang ia lantunkan, membuat Cindy terpesona sejenak. Cindy tersenyum, ketika Imam membaca Al-Qur’an penuh dengan kekhusyuan. Memang baru kali dan malam ini Cindy mendengar dan melihat Imam melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Dirinya larut dalam suara Imam yang indah. Sungguh, Dia adalah pemilik suara yang indah.
Malam wawancara dan meliput sudah mereka lalui dengan sempurna. Kumpulan data dan foto, sudah tersimpan baik di dalam satu file. Kepulanganlah yang kini mereka akan lalui.
Dinginnya puncak, membuat Cindy harus menahan dirinya dari kedinginan.
“dy.. lu kenapa?” nada suara imam terdengar panik.
“kenapa apanya mam?” cindy sendiri pun heran dengan nada suara Imam yang panik.
Jari-jemarinya segera mengusap darah yang keluar dari hidung Cindy. Tanpa basa-basi, Imam langsung mengambil syal yang terikat di lehernya.
“kamu tuh kecapean dy.” Ujar hadi sembari tetap mengusap darah yang keluar dari hidung Cindy oleh syalnya.
“aku gapapa Mam. Tenang aja. Lu nya aja yang panikan.” Cindy mencoba untuk menghibur Imam yang dari tadi panik.
Imam mengangguk pelan sembari melanjutkan perjalanannya kembali. Suara ketukan sepatu yang asalnya ramai, kini hening. Hanya satu ketukan sepatu. Kemanakah satu ketukan lagi? Imam termenung dalam lamunannya.
Imam segera berlari menghampiri Cindy yang tergeletak lemah di pinggir jalan. Kepanikannya nampak terlihat jelas. Imam segera menggendong Cindy yang lemah.
Perjalanan puncak, masih sangat jauh. Kendaraan sangat lengang. Hanya satu dua kendaraan yang melewati kawasan puncak dalam beberapa menit.
Imam terus berjalan berjalan dan berjalan. Yang terpenting, Cindy harus terselamatkan. Harus! Batin Imam mendesak.
Bau obat, suara decikan detak jantung, membuat Cindy terbangun dalam tidur panjangnya. Belum lama setelah Cindy tersadar, terlihat ada satu kotak yang tersimpan rapi di atas meja. Segera Cindy berusaha untuk mengambil kotak tersebut.
“fotonya bagus kan dy? Kalau mau foto-foto lagi, kamu harus sembuh yaaaa J salam dari, sang Fotografer.”
Imam yang membuat ini? Batinnya bertanya.
Foto yang Imam ambil ketika Cindy sedang meminum coffee mocca. Dia mengambil foto itu dari luar sebelum dia masuk ke warung itu untuk menghampiri Cindy.
Cindy terharu dengan perhatian Imam kepadanya. Air matanya menetes dengan sendirinya.
Cindy terus menghubungi Imam. Namun, tak kunjung ada jawaban. Cindy terus mencari kabar, dimanakah imam berada? Apakah dia baik-baik saja?
Satu bulan berlalu dengan cepat. Imam hilang ditelan ombak. Dan Cindy merenung di balik batu.
Rumah kayu itu, memberikan kesan natural dengan hiasan-hiasan alami yang berada di sisi temboknya. Pohon yang berada di sampingnya, membuat rumah ini terlihat asri dan sejuk.
Cindy segera mengetuk pintu. Tak ada yang menjawab. Ia ketuk pintu itu hingga tiga kali. Namun tetap usahanya sia-sia. Tanpa berlama-lama diam menunggu, akhirnya Cindy meninggalkan rumah itu.
Suara pintu terbuka, masih terdengar oleh Cindy yang hendak pergi meninggalkan rumah itu. Segera ia membalikkan badan. Benar. Pintu itu terbuka.
Segera Cindy menghampiri pintu tersebut kembali. Sosok ibu, keluar dengan kursi rodanya. Cindy menyalaminya dengan penuh kelembutan.
Sembari menanyakan dimana Imam berada, ibunya hanya tetap diam. Hingga akhirnya, ibu menunjukkan sesuatu untukku. Kotak itu, berwarnakan merah muda dengan corak bunga mawar merah.
“ini yang Imam titip pada ibu nak.” Ucapnya membuat Cindy diam seribu bahasa.
Cindy hanya bisa mengangguk diam.
Cindy membuka pelan kotak itu. Di dalam kotak, terlihat foto Cindy ketika awal Cindy melamar pekerjaan di kantor, hingga foto terakhirnya di puncak. Satu foto lagi yang belum Cindy lihat. Segera ia melihatnya. Sebuah foto yang Imam ambil ketika dirinya terbaring lemah di Rumah sakit. Ada kata-kata yang tertulis di foto itu. Cindy.. maukah kau menikah denganku?
Seketika Cindy diam terpaku dan mengeluarkan air matanya.
Ibunya yang melihat keadaan Cindy, segera mengusap dan memeluknya. Cindy larut dalam kesedihan bukan kesenangan. Karena, Imam belum juga hadir dalam hidupnya akhir-akhir ini.
Dengan isakan, cindy memulai untuk berbicara.
“bu.. dimanakah Imam berada?” tanyanya dengan nada kesedihan yang dalam.
“nak.. sabarlah.. Allah menetukan yang terbaik untuk kalian.” Ucap ibunya menenangkan hati Cindy dengan penuh kelembutan.
“bu.. jelaskan pada saya bu dimana Imam berada.” Dalam pelukan, ia berkata-kata dengan sangat khawatir.
“imam..” jawab ibu dengan lirih.
“kenapa bu dengan Imam?”
Hening.. tak ada dialog diantara ibu dan Cindy.
Gelap... Tiba-tiba ruangan  ini menjadi gelap.
“dy.. Cindy.. bangun!” ucap sesorang sambil mengusap dahi Cindy dengan lembut.
Dengan mata terpejam, Cindy membukakan matanya sedikit demi sedikit.
“imam..” ucapnya dengan lirih.
“bukan Dy.. aku bukan Imam.” Ujarnya membuat Cindy sedkit heran.
“coba, bukalah matamu Dy.” Ucapnya dengan lembut.
Segera Cindy mebuka matanya. Terlihat, memang sosok Imam lah yang berada di sampingnya.
“ih Imam! Rese ah lu! Jail banget sih jadi orang.” Cindy mencubit perit Imam.
“haha.. aduh.. lu khawatir ke gue yaaa? Ampe lu nangis? Ampe lu pingsan kaya gini?” candanya membuat Cindy cemberut.
“geer lu! Buat apa gue nangis karena lu? Ga ah sorry ye..” ujarnya masih cemberut.
“jangan muna deh Dy. Gue tau semuanya” senyum jailnya terlihat jelas.
Imam berjalan menuju meja yang berada di sudut ruangan.
“Sekarang tutup mata lu lagi!” suruhnya membuat Cindy sedikit ogah-ogahan.
“gamau!” tolak Cindy dengan tegas.
“bawel ah lu jadi orang. Cepetan tutup mata lu. Atau mau gue tutupin?” tawarnya dengan sedikit marah.
“iya iya.”
Beberapa menit kemudian.....
“nah.. sekarang buka mata lu lagi.” Imam duduk di samping Cindy.
Sebuah video yang di tampilkan dengan infokus. Video dirinya yang sedang menangis di ruangan tadi.
Tak terasa, pipinya berubah menjadi merah muda. Cindy sangat malu dengan adanya video itu. Di akhir video itu, ada kata-kata yang membuat Cindy bingung sekaligus bahagia.
Cindy... jadi, apakah jawabannya?
Seketika itu, Cindy diam dan menangis terharu. “jawaban apakah yang harus aku jawab? Batinnya bertanya.
Sebuah jawaban, belum bisa Cindy jawab. Karena Cindy, ingin memberikan jawaban terindahnya di saat waktu yang tepat. Bukan sekarang.
Imam hanya bisa tersenyum dengan keputusan Cindy. Sebenarnya, Imam ingin jawaban itu sekarang. Namun, kapanpun Cindy menjawabnya, Ia akan tetap menunggunya. I wait you Cindy...
The end



Minggu, 08 September 2013


Bab satu


Kota sejuk, Bogor.
Di Rumah Panggung.
Ada bunyi bel di luar yang memecahkan telinga di pagi buta ini. Pak pos yang sudah biasa mengirim surat untuk rumah itu, berlalu setelah seseorang menerimanya. Deyas bergegas turun menghampiri ibunya.
“surat untuk siapa bu?” Deyas bertanya sambil menyantap roti yang terhidang di meja makannya. Mulutnya penuh dengan roti selai kacang kesukaannya.
Ibunya menjawab dengan memberikan sepucuk amplop biru bermotif bunga dan kupu-kupu itu ke tangannya.
“untukmu.” seulas senyum tersungging di bibirnya.
“untuk deyas?” tanyanya dengan nada heran, alis terangkat dan mulut penuh dengan roti selai kacang.
“mmm, iya untukmu. Dilihat saja di amplopnya.” ibu masih menjawab dengan senyum yang terhias di bibirnya.
Deyas segera membalikkan amplop biru itu. Benar. Itu surat untuknya. Sedikit demi sedikit jantungnya kini terasa berdegup kencang. Surat dari siapa ya? dikirim di pagi hari? tanpa nama pengirim? pertanyaan demi pertanyaan semakin menggelayuti otak Deyas. Kini, Deyas segera memabalikkan badan dan segera menuju kamarnya. Deyas ingin tau isi dari amplop biru itu. Ya harus tau.
©©©
Di kamar dengan cat biru.
Gugup, deg-deg an, penasaran. Itulah perasaan yang kini tengah di alami oleh Deyas. Duduk di jendela sambil melihat keadaan luar mungkin hal yang tepat untuk menghilangkan rasa gugupnya. Semoga saja. Segera Deyas membuka perekat amplop biru itu. Matanya kini tertuju pada kertas berwarna biru muda dengan hiasan kupu-kupu di tengahnya. Indah. Ya, itu memang kertas yang sangat indah bagi Deyas. Pertama kalinya ia menerima sepucuk surat selama 16 tahun hidup. Kini hanya satu hal yang mengganjal di mata Deyas. Warna hitam di cetak miring yang membuat dirinya gugup. Kata-kata yang di rangkai menjadi kalimat. Kalimat yang menjadi paragrap. Itu adalah sebuah tulisan. Tiba-tiba saja, tulisan itu membuat tubuh Deyas bergetar, berkeringat dingin dan mengubah wajahnya menjadi pucat pasi.  Sebuah tulisan yang mengerikan bagi Deyas. Tulisan yang membuang Deyas ke masa lalunya.
untukmu di Kota sejuk nan Indah..
Salam rindu..
Hai deyas apa kabar? Kakak begitu yakin, dirimu pasti baik-baik saja. Kakak disini pun begitu baik. Masih ingatkah dengan kakak? Selama dirimu tak memberi kabar, kakak pun selalu mendo’akanmu di negeri matahari terbit ini. Deyasku, mungkin kamu terkejut dengan adanya surat ini padamu. Namun, dirimu tak perlu takut ya. Kakak ini seseorang yang begitu merindukanmu. Sungguh Deyas. Kakak begitu merindukanmu. Kakak ingin sekali bertemu denganmu. 6 tahun ini, kakak belum bisa melupakan dirimu. Meskipun kita tidak pernah menjalin suatu hubungan. Namun, kakak mengalami suatu perasaan yang sulit untuk di ungkapkan. Kini kakak di Indonesia Dey.. di Bogor. Di kota dirimu tinggal, di kota yang mempertemukan kita. Masih ingat dik bagaimana kita bertemu? Dirimu berdiri dengan memegang sebuah kamera SLR yang sedang memotret sebuah pemandangan, lalu kakak berjalan di depanmu yang membuat dirimu malah memotret kakak tidak sengaja. haha Itulah awal kita bertemu. Lucu ya dik? Semoga dirimu mengingatnya ya dik. Masih adakah foto itu? jika ada, kakak ingin melihatnya ya dik. Mm, dik mungkin surat dari kakak membuat dirimu menangis ya. Tuh, merah idungnya. lap tuh ingusnya. hehe
Sekarang, senyum ya dik...
6 tahun lalu, kakak tak memberi kabar tentang kakak pergi kuliah ke Jepang. Itu karena kakak tak ingin melihatmu menangis dik. Mungkin kakak jahat. Ya memang kakak sangat jahat. Namun, kakak lebih jahat jika memberi kabar padamu. Waktu itu.. dirimu sedang menghadapi ujian yang sangat penting untuk masa depanmu. Waktu itu pula kakak pergi ke Jepang tanpa memberi kabar. Jika saja kakak memberimu kabar, mungkin sekarang dirimu belum lulus. Karena, jika kakak memberimu kabar di pagi hari itu dirimu pasti akan menangis dan tidak akan mengerjakan baik soal-soal tersebut. Semoga saja dik Deyas mengerti. Kakak ingin bertemu denganmu dik. Bolehkah? namun, ada satu syarat ya. Syaratnya ketika kita bertemu, dik Deyas jangan nampar kakak yaaa? please haha
Dik... Kakak menunggumu, di awal kita bertemu. Hari Ahad tepat pada saat matahari belum terlalu panas. Jangan lupa, dik berdandan cantik yaaa.. Disana, kakak menunggumu.
Seulas senyum lagi tolong berikan di kata-kata terakhir ini ya dik...

dari, seseorang yang berada di zona hidupmu 6 tahun yang lalu....
Basah. Pipi Deyas kini telah basah. Memang benar tebakan si Penulis, Deyas menangis. Rasa haru, kesal, sedih, senang, bercampur jadi satu bagaikan gado-gado. Deyas hanya bisa diam setelah membaca isi surat itu. Wajah pucat dengan hidung yang merah membuat otaknya kini memutari sebuah film yang di alaminya selama 6 tahun yang lalu. Film yang sulit untuk di hapuskan dari memori hidupnya.
“duh.. dingin banget hari ini. Mana ga pake jaket lagi. Padahal aku kan pengen nikmatin malem ini di puncak tanpa gangguan. huh” sesalnya di tengah sepinya puncak.
Tak ada yang menanggapi sesalnya. Ada angin. Namun, ia hanya mengibaskan jilbab Deyas. Tak ada kata-kata darinya. Kesendirian lah yang kini menemani Deyas. Tak ada siapapun. Ya, deyas seorang diri bagai anak yang hilang.
Suasana puncak memang lengang kali ini. Padahal hari ini malam minggu. Seharusnya, anak muda sudah mejeng disana-sini untuk menikmati malam yang indah ini. Bahkan seharusnya, anak muda sudah mejeng di warung-warung pinggir jalan. Menikmati hangatnya kopi dengan pisang goreng renyah buatan ibu warung. Namun, sekarang anak muda lebih memilih untuk mejeng di mol-mol tanpa bisa memandangi indahnya langit.
Kini Deyas hanya bisa berdiri mematung dengan kamera kesayangannya. Memikirkan betapa lengangnya Puncak di malam ini. Deyas mengambil beberapa objek yang terlihat menonjol di matanya. Memotret bintang yang bertaburan di Puncak, merupakan hal yang rutin di lakukan oleh Deyas setiap malam minggunya. Rumah penduduk dengan sinar lampunya pun Deyas jadikan objek memotretnya kali ini. Satu hal yang menarik di objek potretnya malam ini. Mesjid yang berada di Puncak. Itu objek yang paling indah bagi Deyas. Sinar lampunya yang memancar di malam hari, dengan balutan warna tembok putih bercampur hijau membuat objek yang di ambil Deyas begitu sempurna. Deyas segera melihat hasil potretnya. Hasil yang luar biasa. Begitu indah. Cara pengambilan Objek yang luar biasa bagi Deyas. Baru kali ini ia mengambil objek dengan sangat sempurna. Senyumnya mengembang penuh bangga. Deyas mencoba memotretnya lagi.
Lensa kamera mengarah pada bangunan masjid. Kali ini, Deyas mencoba mengambilnya dengan memakai efek malam hari. “cekrek”. Hasilfototampak di layarkamera. Senyumnyaberubahmenjadicemberut. Objek kali ini, takseindahobjek yang pertama. Bahkanobjek yang keduaini, membuatDeyaskesaldanmarah.
“eh, lugimanasih? Jalantuh yang benernapa? Lu malahseenaknyaajalewat. Gak tau apa, guelagimotret !” ucapnyadengan nada tinggidanhalisterangkat.
“maaf, Inijalanumum.” Senyumsinisnyatersungging di bibirlelakiitu, sambilberjalanmeninggalkanDeyasbegitusajatanpa kata-kata lagidarinya.
“woooy !iyegue tau inijalanumum. Tapi, lugaliatapaguelagimotret. Gasopanbangetsihjadi orang. Bilangpermisikek, puntenapa. Belajar kaya gitugasihlu?” teriakDeyasdi tengahsepinyapuncak. Takadarespondarilelakiitu. DarahDeyas, kinisudahnaik. Bahkanpipinyamemerah. Tangannyasudahmengepalkeras. InginrasanyaDeyasmeninjunya, menjitaknya, menendangnya. Namun, itusemuatakmungkin. Heeeuuuhh..wajahnya, kinimuram. Deyaslangsungmenunduksambilmengusapdadanya, semogasajabisamembuatnyalebihtenang.
“maaf, permisimbak. Sayanumpanglewat.” Ucapnya di hadapanDeyas, sambiltersenyummanis.
Takmenghitungjarilagi. Deyaslangsungmengangkatwajahnya. Tepatsekali. Deyasbertatapanlangsungdenganlelakiitu, membuatDeyasagakgugupuntukberbicara. Tangan yang sebelumnyaterkepal, kinimembukadengansendirinya. Deyaslarutdalambertatapandenganlelakiitu. Taktersadar, 3 menitsudahDeyasbertatapandenganlelakiitu. BarulahsadarketikalelakiitusedangmenatapDeyasdenganheran. SegeraDeyasmengawalipembicaraan.
“akhirnya, lusadarjuga. Daritadinapabilangpermisi!” kiniDeyas yang memberisenyumsinisnya.
Takkalah, lelakiitumembalasnyadenganucapan yang lumayantajam.
“sayasudahbilangpermisiya, nona. Apaandatakdapatmendengarnya?Atauandabudek?” senyumsinisnyadiakeluarkansebagaisenjatapamungkasuntukmengalahkanDeyas.
“sembaranganajalukalongomong. Guedengerko. Tapi kaya bisikanangingitu. Gajelas, gaterlalukedengeran. Kaya anginlewataja” UcapDeyasmembuatlelakiitu, kiniharusmengepalkerastangannya.
“heynona! PERMISIIIIIIII!” teriaklelakiitu di telingaDeyas. SambilberjalanmeninggalkanDeyasuntuk yang keduakalinya.