Berawal dari coffee mocca
Kamera yang
cindy bawa, ternyata habis batere. Buku dan pena yang selalu ia bawa, kali ini
tertinggal. Sedangkan wawancara akan dilakukan sebentar lagi. Pikirannya buyar
kembali ketika pimpinan redaksi memarahinya. Cindy yang larut dalam buyarnya
pikiran, bingung dengan harinya kali ini.
Semenjak
mengetahui Dafa pindah, Cindy merasa sepi di hari-harinya. Dafa lah yang bisa
dan selalu ada menemaninya. Dafa juga yang selalu bisa mendengar celotehnya
setiap hari. Dafa pula yang bisa mengantarkan hidupnya lebih indah.
Ya.. Sosok
Dafa lah yang membuat harinya berwarnakan pelangi. Berita-berita yang Cindy
tulis, Dafa lah sebagai editor pertamanya. Foto-foto yang Cindy cetak, Dafa lah
yang pertama kali melihatnya. Ketika air matanya menetes, Dafa lah yang mengusapnya.
Dafa... sosok lelaki yang mampu merajut cintanya hingga menjadi kain kasih
sayang. Sepulang kuliah, Dafa lah yang menjemput dan mengantar Cindy hingga
kantor. Kebaikan dan kenangannya lah yang sulit untuk dihapuskan. Kali ini,
Cindy mungkin akan mencabut kembali benang cinta yang ia rajut bersama Dafa.
“dy.. napa
lu kali ini murung mulu?” tanya Imam sambil memotret Cindy yang sedang melamun.
“mau tau aja
sih lu. Gue lagi bingung aja.” Cetus Cindy sambil menulis pertanyaan untuk
wawancara nanti.
“haha.. oke
oke. Gue tau. Lu abis putus ama pacar lu yaa?” candanya sambil memandang Cindy
yang masih tetap menulis pertanyaan.
“bukan
urusan lu! Sotau deh jadi orang!”tegas Cindy sembari pergi meninggalkan Imam
sendiri.
Puncak
memang membuat Cindy bisa lebih tenang sekaligus mencari inspirasi untuk novel
pertamanya. Imam yang sedari tadi memotret pemandangan puncak, asyik dan lihai
memainkan kameranya. Sementara Cindy, larut dalam kopi panas mocca yang ia
pesan di warung pinggiran sepanjang jalanan puncak.
Hangatnya
coffee mocca, membuat Cindy asyik dan tenang kali ini. Pikiran buyarnya, ikut
larut dalam kocekan coffee mocca nya. Kali ini, Cindy menemuka dirinya kembali.
Menjadi Cindy yang biasanya.
“heh Dy.. lu
kemana aja sih? Gue tuh nyariin lu. Eh lu malah asyik minum kopi disini.”
Celotehnya membuat Cindy tersentak kaget seketika.
“idiiih.. lu
juga yang salah. Lu kan main ama kamera lu. Yaudah, gue tinggalin aja.” Cindy
menjawab dengan puas.
“hmmmm.”
Dehaman Imam, seakan-akan memang ia yang salah.
“ntar malem,
kita siap-siap buat wawancara di puncak sebelah sana!” imam menunjuk ke arah
masjid puncak.
“iye.. iyee
pak! Bawel ah lu!” jawab Cindy dengan ketus.
Kamera Imam,
memang sangat nyaman untuk memotret. Lensanya yang tajam, membuat Cindy larut
dalam asyinya memotret.
“tuh kan..
apa kata gue tadi. Lu juga jadi lupa ama gue kan?” imam bertanya dengan menatap
Cindy.
“yeehh..
kata siapa gue lupa ama lu? Buktinya gue masih jawab pertanyaan lu. Wlee”
Cibiran Cindy membuat Imam manyun sebentar dan tersenyum kembali.
Memang..
masjid puncak, adalah masjid yang sangat indah. Lampunya yang bergantungan di
malam hari, membuat masjid ini tampak bersinar bagaikan bulan yang ada di
langit. Imam dan Cindy melanjutkan kembali perjalanannya menuju masjid puncak.
Mererka berdua ditugaskan untuk meliput suasana masjid puncak di malam hari.
Imam segera
memasuki tempat wudhu. Begitu pun dengan Cindy. Sedikit-sedikit, Cindy melihat
Imam dengan seksama. Terlihat, Imam membasuhi wajahnya penuh dengan rasa
khidmat. Urutan wudhu yang begitu sempurna. Tak ada satu anggota wudhu pun
terlewatkan dengan tidak sempurna. Dia adalah pemilik wudhu yang sempurna.
Imam dan
Cindy melakukan shalat berjamaah. Suara ayat yang ia lantunkan, membuat Cindy
terpesona sejenak. Cindy tersenyum, ketika Imam membaca Al-Qur’an penuh dengan
kekhusyuan. Memang baru kali dan malam ini Cindy mendengar dan melihat Imam
melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Dirinya larut dalam suara Imam yang indah.
Sungguh, Dia adalah pemilik suara yang indah.
Malam wawancara
dan meliput sudah mereka lalui dengan sempurna. Kumpulan data dan foto, sudah
tersimpan baik di dalam satu file. Kepulanganlah yang kini mereka akan lalui.
Dinginnya
puncak, membuat Cindy harus menahan dirinya dari kedinginan.
“dy.. lu
kenapa?” nada suara imam terdengar panik.
“kenapa
apanya mam?” cindy sendiri pun heran dengan nada suara Imam yang panik.
Jari-jemarinya
segera mengusap darah yang keluar dari hidung Cindy. Tanpa basa-basi, Imam
langsung mengambil syal yang terikat di lehernya.
“kamu tuh
kecapean dy.” Ujar hadi sembari tetap mengusap darah yang keluar dari hidung
Cindy oleh syalnya.
“aku gapapa
Mam. Tenang aja. Lu nya aja yang panikan.” Cindy mencoba untuk menghibur Imam
yang dari tadi panik.
Imam
mengangguk pelan sembari melanjutkan perjalanannya kembali. Suara ketukan
sepatu yang asalnya ramai, kini hening. Hanya satu ketukan sepatu. Kemanakah
satu ketukan lagi? Imam termenung dalam lamunannya.
Imam segera
berlari menghampiri Cindy yang tergeletak lemah di pinggir jalan. Kepanikannya
nampak terlihat jelas. Imam segera menggendong Cindy yang lemah.
Perjalanan
puncak, masih sangat jauh. Kendaraan sangat lengang. Hanya satu dua kendaraan
yang melewati kawasan puncak dalam beberapa menit.
Imam terus
berjalan berjalan dan berjalan. Yang terpenting, Cindy harus terselamatkan.
Harus! Batin Imam mendesak.
Bau obat,
suara decikan detak jantung, membuat Cindy terbangun dalam tidur panjangnya.
Belum lama setelah Cindy tersadar, terlihat ada satu kotak yang tersimpan rapi
di atas meja. Segera Cindy berusaha untuk mengambil kotak tersebut.
“fotonya
bagus kan dy? Kalau mau foto-foto lagi, kamu harus sembuh yaaaa J salam dari, sang Fotografer.”
Imam yang
membuat ini? Batinnya bertanya.
Foto yang Imam ambil ketika Cindy sedang meminum
coffee mocca. Dia mengambil foto itu dari luar sebelum dia masuk ke warung itu
untuk menghampiri Cindy.
Cindy terharu dengan perhatian Imam kepadanya. Air
matanya menetes dengan sendirinya.
Cindy terus menghubungi Imam. Namun, tak kunjung ada
jawaban. Cindy terus mencari kabar, dimanakah imam berada? Apakah dia baik-baik
saja?
Satu bulan berlalu dengan cepat. Imam hilang ditelan
ombak. Dan Cindy merenung di balik batu.
Rumah kayu itu, memberikan kesan natural dengan
hiasan-hiasan alami yang berada di sisi temboknya. Pohon yang berada di sampingnya, membuat rumah
ini terlihat asri dan sejuk.
Cindy segera
mengetuk pintu. Tak ada yang menjawab. Ia ketuk pintu itu hingga tiga kali.
Namun tetap usahanya sia-sia. Tanpa berlama-lama diam menunggu, akhirnya Cindy
meninggalkan rumah itu.
Suara pintu
terbuka, masih terdengar oleh Cindy yang hendak pergi meninggalkan rumah itu.
Segera ia membalikkan badan. Benar. Pintu itu terbuka.
Segera Cindy
menghampiri pintu tersebut kembali. Sosok ibu, keluar dengan kursi rodanya.
Cindy menyalaminya dengan penuh kelembutan.
Sembari
menanyakan dimana Imam berada, ibunya hanya tetap diam. Hingga akhirnya, ibu
menunjukkan sesuatu untukku. Kotak itu, berwarnakan merah muda dengan corak bunga
mawar merah.
“ini yang
Imam titip pada ibu nak.” Ucapnya membuat Cindy diam seribu bahasa.
Cindy hanya
bisa mengangguk diam.
Cindy
membuka pelan kotak itu. Di dalam kotak, terlihat foto Cindy ketika awal Cindy
melamar pekerjaan di kantor, hingga foto terakhirnya di puncak. Satu foto lagi
yang belum Cindy lihat. Segera ia melihatnya. Sebuah foto yang Imam ambil
ketika dirinya terbaring lemah di Rumah sakit. Ada kata-kata yang tertulis di
foto itu. Cindy.. maukah kau menikah
denganku?
Seketika
Cindy diam terpaku dan mengeluarkan air matanya.
Ibunya yang
melihat keadaan Cindy, segera mengusap dan memeluknya. Cindy larut dalam kesedihan
bukan kesenangan. Karena, Imam belum juga hadir dalam hidupnya akhir-akhir ini.
Dengan
isakan, cindy memulai untuk berbicara.
“bu..
dimanakah Imam berada?” tanyanya dengan nada kesedihan yang dalam.
“nak..
sabarlah.. Allah menetukan yang terbaik untuk kalian.” Ucap ibunya menenangkan
hati Cindy dengan penuh kelembutan.
“bu..
jelaskan pada saya bu dimana Imam berada.” Dalam pelukan, ia berkata-kata
dengan sangat khawatir.
“imam..”
jawab ibu dengan lirih.
“kenapa bu
dengan Imam?”
Hening.. tak
ada dialog diantara ibu dan Cindy.
Gelap...
Tiba-tiba ruangan ini menjadi gelap.
“dy..
Cindy.. bangun!” ucap sesorang sambil mengusap dahi Cindy dengan lembut.
Dengan mata
terpejam, Cindy membukakan matanya sedikit demi sedikit.
“imam..”
ucapnya dengan lirih.
“bukan Dy..
aku bukan Imam.” Ujarnya membuat Cindy sedkit heran.
“coba,
bukalah matamu Dy.” Ucapnya dengan lembut.
Segera Cindy
mebuka matanya. Terlihat, memang sosok Imam lah yang berada di sampingnya.
“ih Imam!
Rese ah lu! Jail banget sih jadi orang.” Cindy mencubit perit Imam.
“haha..
aduh.. lu khawatir ke gue yaaa? Ampe lu nangis? Ampe lu pingsan kaya gini?”
candanya membuat Cindy cemberut.
“geer lu!
Buat apa gue nangis karena lu? Ga ah sorry ye..” ujarnya masih cemberut.
“jangan muna
deh Dy. Gue tau semuanya” senyum jailnya terlihat jelas.
Imam
berjalan menuju meja yang berada di sudut ruangan.
“Sekarang
tutup mata lu lagi!” suruhnya membuat Cindy sedikit ogah-ogahan.
“gamau!”
tolak Cindy dengan tegas.
“bawel ah lu
jadi orang. Cepetan tutup mata lu. Atau mau gue tutupin?” tawarnya dengan sedikit
marah.
“iya iya.”
Beberapa
menit kemudian.....
“nah..
sekarang buka mata lu lagi.” Imam duduk di samping Cindy.
Sebuah video
yang di tampilkan dengan infokus. Video dirinya yang sedang menangis di ruangan
tadi.
Tak terasa,
pipinya berubah menjadi merah muda. Cindy sangat malu dengan adanya video itu.
Di akhir video itu, ada kata-kata yang membuat Cindy bingung sekaligus bahagia.
Cindy... jadi, apakah jawabannya?
Seketika
itu, Cindy diam dan menangis terharu. “jawaban apakah yang harus aku jawab?
Batinnya bertanya.
Sebuah
jawaban, belum bisa Cindy jawab. Karena Cindy, ingin memberikan jawaban
terindahnya di saat waktu yang tepat. Bukan sekarang.
Imam hanya
bisa tersenyum dengan keputusan Cindy. Sebenarnya, Imam ingin jawaban itu
sekarang. Namun, kapanpun Cindy menjawabnya, Ia akan tetap menunggunya. I wait you Cindy...
The end